Jumat, 19 April 2013

Warm Bodies

Review : Warm Bodies ( 2013 )



Jangan terburu-buru memberikan penghakiman awal terhadap Warm Bodies dengan menyebutnya sebagai ‘another Twilight Saga’, pengekor ‘romansa epik Cullen dan Swan’, kisah cinta menye-menye atau berbagai sebutan lain yang pada akhirnya mengaitkan film yang beranjak dari novel berjudul sama karangan Isaac Marion ini dengan franchise laris tersebut. Karena pada kenyatannya, selain kesamaan tema yang mengapungkan kisah cinta terlarang antara manusia dengan makhluk fantasi, Warm Bodies jelas sangat berbeda dengan Twilight. Inspirasi yang dijadikan sebagai pijakan untuk mengembangkan kisah adalah karya legendaris milik Shakespeare, Romeo and Juliet. Lantas, segala elemen ‘classic love story’ ini dituangkan ke dalam kuali, diaduk merata bersama ramuan bernama ‘post apocalyptic’, dan ‘zombie’. Terdengar aneh? Memang, hingga Anda menyaksikan hasil eksekusi dari Jonathan Levine dengan mata kepala sendiri. Adalah sebuah kejutan yang menyenangkan saat mengetahui kisah romansa fantasi ini terhidang sebagai sajian yang segar, manis, hangat, jenaka, sekaligus menghibur. 

 
Warm Bodies membawa Anda ke masa depan dimana bumi tercinta ini tidak lagi sebuah tempat yang indah, nyaman, dan layak untuk dihuni. Sebuah wabah zombie mendadak menyebar dengan cepat, menjangkiti manusia, dan pada akhirnya, tentu saja, mengubah manusia menjadi zombie. Mereka yang berhasil selamat mendiami sebuah wilayah yang dipisahkan oleh tembok raksasa dan dijaga dengan ketat. Sementara para zombie, yah, berkeliaran dimana-mana. Salah satu tempat, sekaligus menjadi setting utama dari film ini, adalah bandara dimana sang tokoh utama, R (Nicholas Hoult), tinggal. Demi mengembangkan kisah – serta tentunya menjadikannya berbeda – Levine dan Marion tidak memperlakukan para zombie selayaknya film horror kebanyakan dimana mereka hanya memiliki nafsu untuk mengunyah habis manusia, masih ada pikiran dan sedikit hati yang tertinggal. R, sebagai contoh, berusaha keras untuk mengingat jati dirinya dan menjalin tali persahabatan dengan M (Rob Corddry). Segala bentuk komunikasi dan pemikiran ini disampaikan dalam ‘voice-over’ yang sedikit banyak mengingatkan pada film-film garapan John Hughes. 

Setelah kehidupan yang serba menjemukan, luntang lantung dalam gerakan yang sangat lambat, R memperoleh secercah harapan untuk masa depan yang seharusnya tidak pernah dimilikinya. Setidaknya, R tidak akan bertransformasi menjadi Boneys – tengkorak hidup yang merupakan perwujudan dari zombie yang tak lagi terselamatkan dan menjadikan zombie sebagai mangsa – dalam waktu dekat. Harapan itu berwujud seorang gadis bernama Julie Grigio (Teressa Palmer) yang ditemuinya kala R dan kawan-kawan zombie-nya menyerang kelompok Julie yang tengah dalam misi mencari obat di sebuah gedung. Menghabisi rombongan, termasuk menyantap otak pacar Julie, Perry (Dave Franco), demi mendapatkan memori serta ‘feel alive’, R lantas menculik Julie dan menjadikannya tahanan selama beberapa hari. Dari sebuah perkenalan yang tidak berjalan mulus, hubungan diantara mereka kian berkembang setelah hari demi hari terlewati. Rasa ketertarikan makin menguat meski ini tentu tidak akan mudah, terlebih ayah Julie, Colonel Grigio (John Malkovich), terobsesi untuk menghancurkan para zombie. Akan tetapi, yang tidak disadari oleh para tokoh ini sebelum film mencapai klimaksnya adalah sebuah fakta bahwa Julie memberikan dampak yang teramat positif bagi masa depan para zombie. Dia bukan hanya sekadar tahanan yang memberikan kebahagiaan bagi R semata. 

Apabila Anda memutuskan untuk menghindari Warm Bodies hanya karena film ini memiliki kesamaaan ide cerita dengan Twilight, maka itu adalah sebuah kerugian besar. Dibentangkan secara pas sepanjang 97 menit, Levine yang sebelumnya menghasilkan 50/50 yang sangat menyentuh, memberikan banyak kesenangan dan tentunya, momen-momen yang ‘so sweet’ ke dalam film tanpa pernah terjerembap menjadi suguhan yang norak atau menggelikan. Bagusnya, para fans zombie serta mereka yang mengharapkan sebuah sajian romansa yang unik, akan sama-sama terpuaskan. Porsi untuk teror dari para zombie – serta Boneys – dan romantisme terlarang terbagi dengan merata, meski tentunya, Levine cenderung lebih menyoroti hubungan yang terjalin antara R dan Julie, naik turunnya, konflik internal serta eksternal yang melingkupi, serta bagaimana kisah cinta tidak biasa ini memberikan dampak yang signifikan terhadap kelangsungan hidup para manusia serta zombie. Semuanya dituturkan dengan gaya yang berkelas, penuh dengan tebaran humor menggelitik yang cerdas demi mempertahankan mood penonton agar tetap konsisten hingga akhir, serta serangkaian tembang lawas legendaris – sebut saja Missing You, Patience, hingga Pretty Woman – yang penempatannya sungguh tepat sehingga sanggup membangun ‘feel’. 

Akan tetapi, ini tentu tidak akan berjalan dengan semestinya apabila jajaran pemain dalam departemen akting tidak berlakon secara baik. Nicholas Hoult – yang kita kenal melalui About a Boy dan X-Men: First Class, dan segera tampil di Jack the Giant Slayer dan Mad Max: Fury Road – memberikan sebuah performa yang gemilang sebagai zombie anyar yang dihinggapi kegalauan dan jatuh cinta kepada seorang manusia. Ketika diduetkan dengan Teresa Palmer, terasa percikan di dalam chemistry manis mereka berdua. Hal yang sama turut berlaku saat Hoult berpasangan dengan sahabatnya dalam film, Rob Corddry, dimana kekompakan berhasil terwujudkan. Corddry sendiri merupakan perwakilan dari para zombie dalam memberikan hiburan dalam bentuk canda tawa yang betul-betul menyegarkan sementara untuk kubu manusia diserahkan kepada jebolan America’s Next Top Model, Analeigh Tipton, yang berperan sebagai Nora, sahabat Julie. Lantas, bagaimana dengan John Malkovich? Sama sekali tidak mengecewakan sekalipun porsi perannya di sini terbilang minim sehingga membatasi ruang geraknya dalam mengeksplorasi bakat aktingnya. 

Memang, sejatinya tidak ada sesuatu yang benar-benar baru yang ditampilkan oleh Levine dalam Warm Bodies. Segala hal yang dilakukan oleh zombie di sini – zombie berlari, zombie jatuh cinta, zombie ngelawak – sudah pernah penonton saksikan di sejumlah film zombie yang beredar setidaknya dalam satu dekade terakhir. Akan tetapi, yang lantas menjadikannya istimewa adalah bagaimana upaya Levine mengemas ulang segala bentuk keklisean di sini sehingga menjadi sesuatu yang segar dan menyenangkan. Skrip yang disulamnya sendiri mengikuti pola yang dibentuk oleh Marion ditaburinya dengan dialog yang bernas nan menggelitik. Gaya bertutur diwujudkannya selayaknya film-film milik John Hughes, lantas disisipi dengan koleksi tembang-tembang pilihan yang sungguh mengesankan, dan kemudian dihantarkan dengan memanfaatkan performa dari para pemain berbakat yang mampu menginterpretasi peran mereka dengan tepat. Kecengengan dan menye-menye – yang biasanya menjadi bagian tak terpisahkan dari romantisme terlarang – dihapuskan dan diganti dengan ketegaran serta keoptimisan. Levine pun sanggup menjadikan Warm Bodies sebagai candu sehingga menyaksikannya hanya sekali tidak akan terasa cukup.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar